Adakah yang lebih pagi dari matamu, Ibu? Tempat dimana aku selalu ingin menerjunkan alamat terakhir yang mesti kutelusuri. Walau seringkali ada celah yang melingkungi, membuat kita terjatuh dalam ranah yang bernama konflik, tetap saja matamu adalah pagiku. Dan bila mata itu kelak terpejam, masihkah aku menjumpai pagi meski hanya sekelebat?
Senja....dunno why....i love it.... dan aku ingin pulang di kala senja, ketika matahari merendah pada sang malam...
aku mencintai jingga
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
Tampilkan postingan dengan label Aku dan Ibuku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aku dan Ibuku. Tampilkan semua postingan
Kamis, 07 Juli 2011
Senin, 27 September 2010
Wanita Terbaik Yang Pernah Kukenal
Wanita itu adalah seorang ibu rumah tangga dari keluarga sederhana dengan dua anak, di sebuah sudut kota Padang. Di matanya, keluarga adalah nomor satu sehingga seluruh waktunya dicurahkan pada keluarga kecilnya tersebut. Di usianya yang ke-36, saat anak tertuanya berusia 12 tahun dan anak keduanya berusia 9 tahun, suaminya meninggal dunia. Seperti terjebak dalam sebuah kapal yang terombang ambing sendirian di tengah laut, ia kalut. Tak tahu bagaimana caranya menyelamatkan dua malaikat kecilnya yang tak tahu apa-apa. Di tengah kepedihan hatinya karena ditinggal suami tercinta, ia berusaha bangkit dan mencoba mencari pekerjaan. Dengan bantuan seorang kawan, ia bekerja menjadi sales asuransi. Meskipun memiliki pekerjaan baru, ia tak lantas meninggalkan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Dengan segenap hati ia berusaha keras untuk tetap ada bagi kedua anaknya. Tetap tegar. Walaupun tak jarang anak-anaknya mendapati ia sedang menangis sendirian.
Setahun setelah kepergian sang suami, ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Keputusan ini diambil karena sebagian besar keluarganya berada di ibukota itu. Dengan setumpuk harapan, pindahlah keluarga kecilnya tersebut. Di Jakarta, ia dan anak-anaknya menumpang tinggal di rumah salah satu kerabat. Harapan yang tak selalu sesuai dengan kenyataan, bukankah seringkali memang demikian? Ia harus bersabar menahan diri melihat anak-anaknya hidup terkungkung dan mendapat perlakuan yang tidak adil, seperti kucing yang ketakutan. Hatinya tak tega menyaksikan anak-anak dan dirinya sendiri yang selalu tidak dihargai. Satu tahun kemudian, ia keluar dari rumah itu. Memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah petak yang sempit. Saat menempati rumah kontrakan, ia dan anak-anaknya merasakan kelegaan yang luar biasa. "Ga apa-apa ya nak, rumahnya kecil. Yang penting kita bahagia," ucapnya di suatu malam sambil menyunggingkan senyumnya yang cantik.
Demi kelangsungan hidup keluarga, ia memulai usaha dengan membuka sebuah warung makan kecil di dekat rumah kontrakannya. Susah payah ia membangunnya, dengan modal yang sedikit dan tanpa pengalaman. Baru beberapa bulan memulai usaha, Tuhan kembali mengujinya. Anak perempuannya, saat itu menginjak usia 12 tahun, tiba-tiba tak lagi mampu beraktivitas seperti biasa. Anaknya mulai sering terjatuh, memecahkan piring dan gelas karena tangannya juga lemah dan hanya mampu berjalan beberapa langkah. Anaknya terserang Myasthenia Gravis, sebuah kelainan autoimun. Hatinya miris melihat kondisi putrinya tersebut. Segenap tenaga dan hatinya dikucurkan untuk memperjuangkan anaknya. Pukul empat pagi, ia sudah berbenah di warungnya, tanpa ada yang membantu. Selesai sholat Subuh, ia kembali pulang untuk mengurusi anak perempuannya yang bersiap berangkat sekolah. Meski dengan kondisi yang lemah, ia tetap memberikan semangat pada anaknya untuk tetap melanjutkan sekolah. Dengan sabar, si anak dimandikan, disikatkan giginya, memakaikan seragam sekolah, menyisiri rambut, menyuapi sarapan, membawakan tas dan memakaikan sepatu. Sebab anaknya tak mampu melakukan semuanya sendiri.
Pukul setengah enam, diantarkannya ke sekolah. Biasanya akan sampai di sekolah pada pukul enam lebih sepuluh menit. Padahal dalam kondisi normal, hanya diperlukan waktu lebih kurang sepuluh menit berjalan kaki. Sepulangnya, ia langsung ke pasar membeli segala kebutuhan warung. Terkadang ia harus rela melepas anaknya dengan kondisi seperti itu berangkat sekolah sendirian. Karena kebutuhan warung yang sangat mendesak, yang mengharuskannya sudah berada di pasar sehabis Subuh. Siang hari, ditutupnya warung sebentar dan menjemput anaknya di sekolah. Selalu seperti itu. Tak lupa setiap minggu dibawa anaknya berobat. Selain ke dokter, pun tak henti sang buah hati dibawa ke berbagai pengobatan alternatif.
Berjuang sendirian. Ia seperti seorang pahlawan super yang selalu ada untuk buah hatinya. Dibawanya berobat dengan naik turun kendaraan umum. Seringkali anaknya terjatuh di jalanan dan ia sendiri yang mengangkat anaknya. Berlanjut hingga anak perempuannya memasuki jenjang SMU, namun kali ini ia tak lagi membuka warung makan. Seluruh perhatiannya hanya untuk si anak. Setiap hari diantarkan dan dijemput sekolah. Diangkatnya si anak ke atas motor ojek yang mengantar ke sekolah, lalu ia sendiri juga ikut naik mengantar anaknya. Seperti itu setiap hari. Tak jarang ia menunggu di sekolah, berjaga-jaga bila pelajaran dibubarkan sebelum waktunya, sehingga anaknya tak perlu menunggu terlalu lama untuk dijemput. Ia lakukan semua dengan sabar.....dan ikhlas. Pun sampai anak perempuannya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, hingga selesai.
Hari ini, wanita itu tinggal di sebuah rumah mungil bersama kedua anaknya. Anak lelakinya yang tertua sudah bekerja dan anak perempuannya masih setia dengan Myasthenia Gravisnya. Tangan sebelah kirinya sering sakit. Setelah diperiksakan ke dokter ternyata tulang bahunya turun. Diperkirakan karena sering mengangkat beban yang berat. Setelah ditelusuri, anak perempuannya menyadari bahwa kemungkinan itu disebabkan karena hampir setiap hari dulu ibunya mengangkat tubuhnya yang lemah. Tapi wanita itu menjawab, "Tak penting apa penyebabnya. Kalaupun memang disebabkan karena itu, mama ikhlas nak!"
Ah, betapa besarnya hati wanita itu. Wanita terbaik yang pernah kukenal. Dan aku ingin menjadi seperti dirinya, yang selalu tegar dan bersabar atas apapun. Aku selalu sayang padanya, karena wanita itu adalah ibuku.
Kepada Ibuku
Berdua. Selalu berdua menghadapi semuanya. Dan aku sangat bersyukur untuk itu. Kau selalu ada di sebelahku, saat segalanya terasa mudah dan saat segalanya begitu sulit kulewati, ibu.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih ada dalam gendongan, diayun, dan dinyanyikan lagu-lagu penghantar tidur, aku tahu....sasaranmu adalah memberiku benih agar suatu hari nanti sepasang sayap dapat membawaku terbang membawa mimpi-mimpiku.
Bukan berarti perjalanan itu terasa mudah. Aku ingat, suatu hari di usiaku yang menginjak sembilan tahun, betapa miris hatimu melihatku menaruh sepucuk surat ucapan selamat ulang tahun di pusara ayah. Dan setelah itu kehidupan kita berubah. Menjadikan kita seperti sekelompok serdadu yang bertarung dengan senjata yang pas-pasan. Dan kau yang akhirnya mengambil alih semua komando, terutama untuk dua serdadu kecilmu yang masih rapuh.
Namun pada akhirnya semua situasi yang tak bersahabat, dapat kita lalui bukan?
Kalau hidup ini sebuah perlombaan, aku pernah berpikir untuk keluar dari arena perlombaan ini. Satu hal yang membuatku ingin berhenti, yaitu karena sayap-sayapku tak tumbuh dengan sempurna. Tak mampu aku terbang membawa mimpi-mimpi yang telah kurancang.
Di fase itu, aku terhenti mengurai benang-benang hidupku. Sebab tak juga selesai kutenun kainku.
Namun dengan kesabaran dan kasih sayang yang setiap saat kau beri, akhirnya aku menyadari bahwa aku harus terus berjuang. Tak ada yang mampu meredam keyakinan dan harapan, bahkan Myasthenia Gravis yang tiba-tiba menghadang langkahku.
Sampai hari ini, terus aku mengukur seberapa jauhkah kujejakkan nafas di sepanjang jalan berbatu ini. Menggumamkan namamu, seperti aku belajar mengeja igauku. Sehelai demi sehelai. Seraut demi seraut.
Meski sayapku tak tumbuh sempurna. Aku masih menyimpan benih harapanmu yang dulu kau sebarkan di masa kecilku.
Benih itu akan kutanam agar aku tumbuh menjadi pohon dengan akar yang kuat. Walaupun aku tak terbang ke atas sana, maukah kau menemaniku untuk sama-sama menjadi pohon? Dan memandang bintang-bintang yang berkelip indah di langit serta menikmati angin yang bermain di sela dahan dan ranting kita.
Padamu kusampaikan ibu, genggamlah hatiku..
Senin, 23 Agustus 2010
Suatu Hari Nanti
Saat-saat menjelang tidur malam. Mungkin akan menjadi kerinduanku suatu hari nanti. Tiap malam, aku selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan mama. Aktivitas hari itu, perasaan-perasaan, uneg-uneg, masalah-masalah yang sedang dihadapi, semuanya, bahkan hal-hal sederhana seperti membicarakan ikan-ikan di akuarium yang makannya makin banyak, resep masakan baru, sampul buku, kacamata yang lagi-lagi aku lupa dimana meletakkannya, dan terkadang kami bernostalgia mengenang masa lalu.
Sesekali kami berbincang hingga larut. Tak menyadari bahwa hari telah berganti menjadi hari yang baru. Tawa, belaian mama di rambutku, candaan, juga air mata mengisi percakapan kami. Ah, mama. Selalu saja ada banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Entah apa yang ada di benakku, ketika tiba-tiba aku menyadari bahwa akan datang hari-hari dimana kau tak lagi di sampingku. Sesak. Ada tangis yang tercekat di tenggorokan ini. Aku tahu, saat itu cepat atau lambat akan menghampiriku. Rambutmu telah banyak yang memutih, guratan-guratan yang menandakan telah banyak usiamu semakin jelas terlihat. Tapi yang tak pernah berubah, senyummu masih secantik dulu.
Mungkin seperti saat aku mulai mengenalmu sebagai ibuku. Saat kau menyapaku hadir di dunia 25 tahun yang lalu, saat kau melambaikan tangan pada gadis kecilmu yang akan berangkat sekolah, hingga suatu saat gadis kecilmu yang beranjak dewasa tak mampu lagi menjejakkan kakinya dengan leluasa, tak mampu menyisir rambutnya, bahkan tak mampu menyikat giginya sendiri. Masih senyum yang sama. Yang menurutku terkadang menyembunyikan luka, meskipun ia selalu terlihat cantik.
Malam, menjelang tidur. Kelak rinduku akan tersemat di sana. Menjuntaikan berbagai kisah panjang tentang kasih sayang seorang ibu. Seorang ibu yang telah mampu tersenyum kembali pada gadis kecilnya, yang berusaha keras menjadi wanita tegar seperti dirinya. Dan kini gadisnya tahu, kelak jika ibunya tak lagi menemani malam-malamnya, Tuhan tak pernah meninggalkannya sendiri.
Malam, menjelang tidur. Kelak rinduku akan tersemat di sana. Menjuntaikan berbagai kisah panjang tentang kasih sayang seorang ibu. Seorang ibu yang telah mampu tersenyum kembali pada gadis kecilnya, yang berusaha keras menjadi wanita tegar seperti dirinya. Dan kini gadisnya tahu, kelak jika ibunya tak lagi menemani malam-malamnya, Tuhan tak pernah meninggalkannya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)