aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Sabtu, 16 Juli 2011

Sepanjang Jalan Margonda

Siang yang disemilirkan oleh derap hujan yang jatuh tiba-tiba saat matahari sedang bersemangat menyapu jejalan, aku asyik sendiri mengais-ngaiskan ujung pena pada buku catatan kecil yang kubawa. Pada meja di hadapanku, masih terhampar piring dan gelas sisa makan siang. Persis di seberang meja, adik dari almarhum papaku terlihat serius menelepon seseorang lewat telepon genggamnya. Ada masalah serius rupanya. Aku pun sudah tahu dari cerita yang diluncurkannya beberapa hari lalu. Aku diam saja memperhatikannya berbincang sambil terus menuliskan goresan alfabet. Om ku yang selalu tertawa pada tiap kesempatan. Sebesar apapun masalah yang sedang dihadapinya, tawa tak pernah lepas dari dirinya.


Dengan diboncengi sepeda motor, kami menerobos kebisingan dan kepadatan lalu lintas di siang yang teramat sibuk. Beberapa saat lalu, sebelum kami memasuki sebuah rumah makan, cuaca sangat terik. Lalu seperti laut yang tak dapat diterka, langit dengan derasnya meluncurkan tetes-tetes yang membasahi jalanan. Seperti sebuah hati, tak pernah tahu seberapa besar gemuruhnya dan seberapa dalam palungnya. Tak pernah teraba. 


Saat kami akan melanjutkan perjalanan, langit kembali memunculkan terik yang segera menguapkan sisa-sisa air yang mengalur. Matahari tertawa lebar lagi di atas sana. Namun dimanakah tawaku kali ini?

Kesibukan di sepanjang jalan yang tak pernah letih. Aku menerka-nerka, ada berapa banyakkah wajah yang menyembunyikan luka. Ada berapa banyak rahasiakah di antara ketergesaan yang ada. Ada berapa butirkah janji yang terabaikan. Ada berapa hatikah yang mampu melepaskan. Aha, pertanyaan-pertanyaan yang makin meramaikan sisi jalan raya yang teramat tak lengang. 


Sesekali terdengar suara Om ku dari balik helmnya. Kadang tawanya ikut memecah deru siang yang makin bising. Om ku memang selalu tertawa. Aku pun tertawa. Namun aku tak merasa seperti sedang tertawa. Aku hanya merasa sibuk, dengan diriku sendiri, dengan pikiranku sendiri.


Sepanjang jalan yang meneriakkan bising, ada banyak wajah, ada banyak hati yang tengadah. Wajah-wajah di pinggir-pinggir atau tengah-tengah jalan itu, menyimpan kisahnya masing-masing. Jauh dalam hati-hati nya yang palung, ada banyak suara yang tak pernah mampu untuk didesaukan. Aku meringis, terik yang dilontarkan langit cukup mencubit-cubit kulit. Kubuyarkan semua pikiran itu. Lalu menamatkan mataku pada gerobak-gerobak para penjual makanan dan minuman, kedai-kedai kecil dan besar, beberapa pusat perbelanjaan yang tegap berusaha menggapai awan, trotoar juga pembatas jalan, dan apapun yang menghampar. Sambil sesekali berbincang dengan Om ku, dari balik helm, tak lupa dengan tawanya.

2 komentar:

  1. assalamualaikum di nilla ku sayang,,

    hmmm... cerita sepanjang jalan yg epik,, sungguh pingin belajar bisa nulis kata2 indah kayak gini,,,

    hmm.. gimana klo aku usul, dik nilla coba buat novel... mesti keren yaaaa... please....

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam Kak Ami sayang ^_^

    Terima kasih yaaa. Doakan jalan menuju kesana lancar ya kak...... :)

    BalasHapus