aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Rabu, 06 Juli 2011

Di Ujung Sebuah Perlintasan

Masih di ujung jalan yang sama, aku mencoba menafsirkan sendiri perlintasan yang mengurai panjang di belakang. Satu per satu mulai berjatuhan, kemudian waktu memungutinya sehelai, lalu sehelai lagi. Aku berbaik hati dengan waktu, meski ujung jariku siap menetaskan dan meluapkan langsung segala hal yang ada. Lagi-lagi waktu mengajariku untuk tetap berdamai dengan ketergesaan. Sebab itulah akhirnya aku menerjunkan kediaman itu dalam telapak tangan yang menganga, menenggelamkannya pada doa-doa  yang berbaris rapi dalam antriannya menuju langit. Seringkali luka menyusup diantaranya, mempermainkanku seperti desir angin yang berlarian di sela anak-anak rambut.

Menjelang tengah malam guratan ini kutulis di selembar kertas. Di luar, cuaca semakin lembab dan basah. Ujung-ujung hujan meresonansikan aroma sebuah rahasia yang tak berirama. Rahasia tak berpintu. Lalu dari manakah kelak aku akan membukanya?

Seringkali ingin kuterobos saja kedamaian yang ada, ingin kucurangi sang waktu, sehingga aku tak perlu lagi berputar-putar, hanya untuk menemukan pintunya. Namun pada seseorang, telah kusepakati sebuah janji tak tertulis. Sebuah janji tertulus untuk tetap menyimpannya hingga saatnya tiba. Meski tak mampu kujangkau hatinya, aku tahu ia mengulurkannya untuk berjabatan erat dengan hatiku. Karena sebuah alasan yang tak kupahami, seseorang itu kubiarkan masuk menuju diriku sepenuhnya. Sesuatu yang tak terjemahkan, membuatku menggenggam penuh hatinya, lalu kusimpan dalam sebuah ruangan, bersama hati-hati lain yang kugenggam sebagai sahabat. 


Bila nanti ada yang bertanya padaku, kupastikan aku tak pernah mempunyai jawabannya. Aku hanya tahu, ia adalah sahabatku saat ini dan nanti. Jika kau membaca tulisan ini, wahai wanita yang menyimpan rahasia serupa dengan rahasiaku, kau adalah sahabatku.


Hujan semakin memburu, berkejaran dengan detik-detik menuju tengah malam. Aku masih saja mendesau dalam lembar hari yang pekat. Mencoba untuk tetap mengalirkan diri di jalur yang sama seperti sebelumnya, meski aku tahu sepenuhnya bahwa semua tak lagi sama. Semua sangat berbeda.


Di ujung jalan ini, masih dengan sakit yang mengerang, akan ada jalan panjang yang mesti ditapaki. Seberapa pun jauhnya dan seberapa perih pun ia, kutelusuri saja. Akan ada saatnya dimana jalan itu akan berujung.


*****


Cipayung, pada malam yang berhujan.

3 komentar:

  1. akankah semua itu bisa diraih..dalam genggaman..hanya aku dan dia yang tahu...

    BalasHapus
  2. assalamualaikum dik,,

    selalu memiliki kata-kata yang indah, tertuang dalam goresan cerita yang bermakna dalam,,, hmmm,,, ini yg membuat aku tak ingin ketinggalan tulisan adik ku ini... tetap semangat ya dik...

    BalasHapus
  3. @Fajar : Dan waktu yang akan mengungkap semuanya.....


    @Kak Ami : Wa'alaikumsalam kakaaak ^^
    Trims ya Kak Ami....aku jadi ga enak belum ke kebun "Hujan" lagi..maaf ya kak :(

    BalasHapus