aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Jumat, 10 Juni 2011

Kali Ini, Hujan Tak Benar-benar Jatuh



Hujan tak benar-benar jatuh, Rinai
meski sedari tadi kau berpayung lembab
dengan mata sembab
di tanganmu ada doa yang tengadah
mengepul bersama hangat kopi pagimu

di belakangmu, pintu masih kau biarkan terbuka lebar-lebar
kau akan masuk seorang diri lalu menguncinya
atau pergi, dengan pintu menganga
dan siapa saja dapat datang lalu pergi
tanpa meninggalkan jejak padamu?

Apapun caramu, tak pernah ada yang berlalu begitu saja
meski kau kuras habis seluruh hatimu
meski hatimu benar-benar kosong dan sendiri
sebab hati bukanlah guratan pensil yang dapat dengan mudah dihapus
tapi itu milikmu, satu-satunya
jangan lagi kau kais ia, memaksanya terkoyak lagi
berharap hujan dapat menghapusnya

tapi hujan tak benar-benar jatuh, Rinai
kau lah yang jatuh dalam air matamu sendiri.

4 komentar:

  1. waahh,, keren puisinyaa...
    *applause*

    BalasHapus
  2. artinya ga jadi nangis nih?

    BalasHapus
  3. @Aulia : Artinya hujan malah jatuh dari matanya sendiri Li, alias nangis :D
    Saking nangisnya hebat jadi kayak hujan deh..hehe

    BalasHapus