Sapardi pernah berkata, tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Mungkin ia belum pernah bertemu denganmu, perempuan yang selalu menabahkan diri meski pada sore yang terlukai senja. Itu sebabnya semesta memerah. Lukamu terlalu ranum untuk dituai langit. Maka jadilah hujan yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni, yang merahasiakan rintik rindunya pada pohon berbunga. Jadilah lebih bijak dari hujan bulan Juni, menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalanan. Jadilah lebih arif dari hujan bulan Juni, membiarkan yang tak terucapkan, diserap akar pohon bunga itu. Karena kamu adalah perempuan yang disemilirkan angin, selalu bisa tertawa meski sunyi kerap menjadi kawan karibmu.
Senja....dunno why....i love it.... dan aku ingin pulang di kala senja, ketika matahari merendah pada sang malam...
aku mencintai jingga
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar