aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Sabtu, 05 Juni 2010

Aku dan Laut

Katamu, kau ingin menjadi seperti laut. Pernahkah kau berpikir mengapa Allah mengijinkan kita berwudhu dari air laut? Padahal kau lihat bahwa laut menerima semua yang datang padanya. Air sungai, hujan, lumpur, pasir-pasir yang hanyut, sampah, ikan-ikan mati, bangkai kapal dan apapun itu. Itulah keistimewaan yang diberikan-Nya pada laut. Jika kita mampu menerima apapun yang datang dalam hidup kita, jika kita mampu memiliki hati seluas laut, Allah juga pasti memberikan keistimewaan. Itulah mengapa aku begitu menyukai laut, jelasmu sambil tersenyum.


Bagiku, laut selalu menjelma kerinduan, pada saat-saat aku masih mampu melompati denting ombak, berjalan menyisir pantai, mengumpulkan kerang, berlarian diantara deru ombak yang memecah udara, memandang bagan dan mendengarkan kisah dari ayah tentang para nelayan yang menarik pukat dengan kulit melegam.


Laut. Keluasan yang tak menyua apapun. Begitu syahdu.


Pada laut, akupun tak ingin bergegas. Aku ingin berlama-lama mensketsa wajah laut. Menangkap pesan-pesan yang tersaji di hadapanku. Tersenyum dan menikmatinya.


Biru. Membentang luas. Ada cericit camar yang mengalun di sela desir angin, buih dan laut.


Terkadang aku ingin menjadi camar-camar itu. Menjadi bagian dari lukisan agung Sang Maha Pencipta, turut meramaikan laut dan pantainya. Ah, tapi pada akhirnya aku harus pulang. Seperti camar, setelah menjelajah langit, menyibak lautan dan mengumpulkan bekal, mereka pulang ke sarang. Bukankah hidup seperti itu? Sebuah perjalanan untuk mengumpulkan bekal, lalu kembali bila saatnya tiba. Kembali pada asal mula kehidupan, pada-Nya.


Laut tak hentinya membuat rinduku semakin ingin menyeruak. Seseorang telah membuatku menyukai birunya. Biru? Benarkah laut itu berwarna? Tak pernah ada biru jika kutampung airnya di telapak tangan. Sudahlah, ada pula yang mengatakannya berwarna hijau bahkan ungu. Aku tak peduli. Aku hanya rindu dengannya, seseorang yang memiliki sepasang mata yang teduh, dan selalu bercerita tentang kesederhanaan. Ayah, biar kisah-kisah itu menjadi kerak dalam benakku. Menjadi sebuah album indah yang bisa kubuka kapan saja.

Dulu kau pernah mengatakan, " Lihatlah ombak yang bergulung itu, ia seperti waktu. Dan lihatlah pasir-pasir pantai itu, tuliskan semua kesedihan, rasa penolakan, terabaikan, kekecewaan dan kekesalanmu disana. Ombak akan datang menghapus jejak-jejak di pasir. Seperti waktu yang akan menghapus semua kepedihan dan kesedihanmu. Ombak itu terus berganti dengan ombak yang baru. Pun waktu, yang akan terus berganti untuk membuatmu menjadi lebih bijak. Maka berpikirlah seluas laut dan tersenyum pada hari-harimu.


Maka, bila nanti kau bertanya padaku mengapa aku menyukai laut, mungkin aku akan menjawabmu dengan diam. Sebab diam juga merupakan sebuah jawaban. Biar laut yang akan menjelaskannya padamu. Karena ia selalu punya cerita untuk setiap hati.

2 komentar:

  1. Aq suka dengan goresan penamu ini Sis.
    " Laut & Biru " satu dari sekian favoritku.
    Di sana banyak warna juga pembelajaran ttg warna kehidupan yang Allah sampaikan.

    Salam ~ jogja

    BalasHapus
  2. Senja Di Batas Cakrawala....trims mba widi...^_^
    Iya mba, kalau saja kita mau membaca kehidupan di sekitar kita, Subhanallah...penuh dengan pelajaran2...

    Salam dari Jakarta

    BalasHapus