Aku Ingin Pulang Di Kala Senja
Senja....dunno why....i love it.... dan aku ingin pulang di kala senja, ketika matahari merendah pada sang malam...
aku mencintai jingga
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
saat semesta dinaungi semburat yang mempesona
jingga, semesta menjingga
ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,
mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari
wahai senja..
terimalah aku sebagai kabut
setia menantimu menyambut malam
menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam
meruntuhkan segala penat dan kesenduan
bersujud hanya untuk satu nama teragung
dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,
aku ingin pulang di kala senja
kembali pada kisahku yang terukir di langit
hening dan abadi.
Kamis, 28 November 2013
Selasa, 03 April 2012
Kematian
Kematian hanya sebuah perlintasan menuju hidup yang sesungguhnya.
Bukan sekumpulan riuh duka yang mengalir jatuh sebagai air mata.
Meski tak dipungkiri, selalu ada air mata di sana.
Meski tak dipungkiri, selalu ada air mata di sana.
Minggu, 01 April 2012
Nama Saya Cut Sutina, Seorang Putri Aceh, dan Saya Adalah MGers
Ini adalah sekelumit kisah dari seorang sahabat yang belum pernah kujumpai secara langsung. Kak Cut, begitu aku biasa menyapanya. Sahabat sesama penyandang Myasthenia Gravis yang berada di Nangroe Aceh Darusalam. Ia mengirimkan ceritanya melalui sms. Entah berapa sms yang masuk ke telepon genggamku untuk menceritakan kisahnya ini. Aku tahu ia letih, tapi ia mengaku senang dengan itu karena ia merasa telah berbagi denganku. Aku pun tak kalah senang. Kutulis kembali sedikit perjalanannya itu dengan bahasaku di sini. Aku ingin berbagi kisah tentang seorang wanita di sebuah sudut kota Lhoksukon, yang menjalani sisa hidupnya dengan MG. Namun demikian, ia masih mampu untuk bertahan dalam keterbatasannya itu. Hidup dalam kesederhanaan yang tentu saja tak mudah baginya, bagiku, dan bagi MGers lainnya. Semoga kita dapat mengambil pembelajaran dari tuturnya. Selamat menyimak.
*****
Nama saya Cut Sutina, lahir dan besar di salah satu sudut kota Lhoksukon, Nangroe Aceh Darusalam. Saya tumbuh normal layaknya anak-anak sebaya saya, ketika itu menginjak usia 12 tahun. Walaupun saya berasal dari keluarga kurang mampu, saya tetap dapat menikmati kehidupan waktu itu. Saya menjalani semua dengan cara saya, dan menemukan kebahagiaan saya sendiri. Hingga segalanya mulai berubah ketika saya lulus sekolah dasar. Teman-teman melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan saya tidak. Rasa kecewa menyergap, tapi ada daya, saya harus memahami kondisi keuangan orang tua yang tak mampu membiayai sekolah.
Di tengah kekecewaan tersebut, salah seorang kerabat mengajak saya untuk tinggal bersamanya di Banda Aceh. Di sana, saya ikut membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga semampunya. Namun setelah dua tahun, saya merasakan ada keganjilan dalam tubuh ini. Badan, tangan dan kedua kaki saya melemah. Selain itu, penglihatan saya menjadi ganda. Keluarga tempat saya tinggal membawa saya ke dokter. Tak ada hasil apapun. Meskipun keluarga tersebut membawa saya dari satu dokter ke dokter lainnya, hasilnya nihil.
Saya merasakan kesedihan yang mendalam. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung di Lhoksukon. Setiba di kampung, kondisi saya melemah. Karena keterbatasan biaya, orang tua membawa saya ke pengobatan kampung saja. Maka dimulailah sekelumit perjalanan itu. Tiap malam, gelap dan tanpa lampu, terkadang hujan dan jalanan becek, saya dinaikkan ke sepeda bapak. Lalu bapak akan mendorong sepeda itu, sedangkan ibu memegangi tubuh saya. Sebab saat itu, untuk duduk pun saya tak bertenaga. Kami melakukan itu dengan harapan membawa kesembuhan. Akhirnya uang habis, sementara keadaan saya tak mengalami perubahan apa pun. Namun orang tua tak putus asa. Tiap kali mereka memiliki sedikit uang, saya kembali dibawa berobat.
Saya melalui hari-hari penuh ejekan dan caci maki. Orang-orang mengatakan hal yang menyakitkan. Hati saya menangis. Mereka tidak mengerti betapa sulitnya hidup seperti ini. Tak ada yang menginginkan sakit, begitu pula dengan saya.
Suatu hari ibu angkat saya yang di Banda Aceh kembali membawa saya berobat ke seorang dokter saraf di Lhokseumawe. Dari dokter inilah akhirnya diketahui bahwa saya menderita Myasthenia Gravis. Ya, saya seorang MGers, sebutan bagi penderita Myasthenia Gravis (MG). Dan kemungkinan besar, sebutan ini akan saya sandang seumur hidup, karena secara medis belum ditemukan obat untuk menyembuhkan MG.
Karena keterbatasan fisik, saya menghabiskan hari-hari di rumah saja. Sebab itulah saya tak memiliki teman. Hingga suatu hari, dokter yang memeriksa saya membawa saya ke rumahnya dan dikenalkan pada anaknya. Saya dibuatkan akun di jejaring sosial facebook. Dari sinilah ia mengenalkan saya dengan orang-orang di belahan tempat di luar sana. Dari sini juga saya menemukan komunitas MGers, orang-orang yang sama-sama menderita Myasthenia Gravis seperti saya.
Saya belajar banyak dari MGers. Meskipun hati saya sakit, tapi saya harus selalu memiliki semangat hidup. Karena bukan hanya saya sendiri yang mengalami hal ini. Walau keinginan hidup normal seperti orang lain masih terselip di hati, tapi saya bersyukur untuk semuanya. Karena di suatu tempat entah dimana, pasti ada yang berjuang jauh lebih berat dibandingkan dengan perjuangan saya. Apalagi sekarang saya mempunyai orang-orang yang baik hati dan mengerti akan diri saya. Meski mereka berada jauh dari tempat saya. Namun saya sangat senang dan berusaha untuk selalu bersemangat menjalani hari-hari.
Langganan:
Postingan (Atom)