aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Jumat, 08 Juli 2011

Aku Pada Sebuah Siang yang Biasa-Biasa Saja, Mulai Melepas Satu per Satu Sebuah Arti Ketulusan

Bila ini memang peran yang harus kulakoni, akan kuadegani ini dengan sebaik yang mampu kulakukan. Meski perih itu semakin terkais, mengumbai dalam fragmen yang tak kuketahui akan berakhir di perhentian sebelah mana. 
*****
Terpaku aku di sebuah siang yang biasa-biasa saja. Kulihat di luar jendela, dedaunan masih dengan setia membelai angin yang sayup-sayup. Sepertinya mereka juga mencari tahu apa yang sedang berbicara lewat rintik di mataku. Seringkali diam-diam aku menganggap dedaunan, angin, suara kecipak air di akuarium adalah kawan-kawan setia yang menadahkan telapaknya hanya untuk menampung berbagai hal yang tak mampu kutuangkan. Kali ini, aku seperti tercampak ke suatu tempat yang limbung, terkungkung. 

Aku berdiam bila aku memang tak ingin menyampaikan apapun. Kadang, sesungguhnya ada banyak hal yang ingin kusajikan di meja, agar semua yang ada dapat membacanya dengan jelas. Namun banyak hal yang akhirnya membuatku cukup menyimpannya saja, memeluknya lalu melontarkannya pada percakapan-percakapanku dengan-Nya. 

Banyak yang terjadi dalam hidupku, yang akhirnya seringkali membuatku untuk tak menunjukkan siapa diriku yang sesungguhnya. Aku hanya mampu menjadi diriku sendiri, utuh, penuh, lewat aksara-aksara yang berguguran dari jemari ini. Tak ada yang bisa kusembunyikan bila aku sudah mulai menuliskan sesuatu. Pun banyak peristiwa yang mencetakku untuk mencari jawaban atas diriku sendiri. Dalam pencarian itu, kadang aku berkelit menjadi sosok yang ingin dijauhi, dibenci. Lalu kuciptakan skenarioku sendiri agar aku terlihat seperti sebuah pribadi yang keras dan tangguh. Kemudian aku menyadari itu hanya kamuflase untuk menutupi bahwa aku sebenarnya tak jauh berbeda dengan batang pohon yang sudah tua dan melapuk, ringkih. 

Dan pada siang yang biasa ini, aku kembali mengurai bulir-bulir yang makin menderas di mataku. Bukan apa-apa, melainkan karena aku kehilangan sebuah keyakinan yang baru saja mulai kutapaki. Sulit bagiku melepas keyakinan itu, keyakinan pada sebuah ketulusan. Berkali-kali aku ingin menetapkan diri bahwa aku mampu, namun tak pernah berhasil. Hingga sampai pada suatu titik, dimana aku bisa mengalahkan keraguan itu. Kutapaki ia dengan tertatih. Sampai tiba-tiba ada yang mendorongku jatuh tersungkur. Mengeramkan luka yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Luka yang bagiku menjadi luka paling terluka yang pernah ada.

Tuhan, bila memang aku harus menapaki mozaik-mozaik hidupku dengan cara seperti ini, sediakanlah ruang yang jauh lebih besar di hatiku. Untuk menyimpan semua luka yang ada, memeliharanya lalu menguntumkannya hingga berbuah manis dan ranum. Meski bukan aku kelak yang memetiknya. Dan sekali lagi, bila memang peran ini yang harus kulakoni, walaupun dengan kesakitan dan kepedihan, ajarkan aku untuk melakoni setiap sakit dan perih itu dengan sebaik-baiknya diriku. 

Cipayung, ini siang dengan segala hal yang membuatku merasa tercabik.

3 komentar:

  1. nice post :) kata2nya indah seperti yang tercantum di bionya, "Menulis semua yang tak terkatakan lewat kata-kata, semua yang tak terkalimatkan lewat kalimat-kalimat. Sebuah sisi lain yang selalu diam........"

    BalasHapus
  2. wich....dalam kata2nya....

    BalasHapus