aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Senin, 06 Juni 2011

Sebuah Sisi Lain

Seperti dua sisi yang saling berseberangan, aku menemukannya dalam diriku sendiri. Sesuatu yang terlampau entah, sulit dipahami. Tak terkatakan, namun kali ini semua kembali melebur jadi satu. Skeptis. Sudah beberapa lama kata itu tak lagi ada pada keakuanku. Mengingat perlahan aku mulai menyusun serpihan kepercayaan terhadap sesuatu yang sangat sulit untuk kuterima. Namun tetiba meracau tak jelas arahnya, aku menepi. Menepi di jejalan yang aku pun tak tahu rimba. Terlampau jauh aku pergi dari rumah. Hingga mungkin aku tak menemukan jalan untuk kembali pulang. Aku merindu. Pada diriku yang tak peduli lagi terhadap apa-apa selain pagi yang menyusun berlembar harap. Aku merindu. Entah apa atau siapakah yang aku rindui. 

Tak banyak yang kuingin. Aku bangun di pagi hari, lalu memikirkan apa yang akan kulakukan sepanjang hari ini. Seringkali sayup-sayup kejenuhan memanggilku mengadakan pesta dalam kesunyian. Terkadang aku terlarut bersama kumpulan kata-kata dalam sebuah buku, seharian penuh. Sesederhana itu. Tak berarti bagi kebanyakan orang, mungkin. Tapi itupun bukan alasan untuk menjadikan aku sebagai orang yang tak berarti pula bukan?

Terbiasa aku berkawan waktu yang lamban. Ah, waktu adalah hal paling tabah, kupikir. Menerima segala yang tercatat, terlewat bahkan yang terlupa. Tak pernah sedetik pun ia ingin berhenti. Aku juga demikian, menerima semua yang datang dalam hidupku, entah itu hal baru, orang baru atau pengalaman baru. Tanganku terbuka, juga hatiku. Tak mudah bagiku menerima sebuah kehadiran, tapi satu hal yang membedakan aku dengan waktu. Adalah aku yang acapkali ingin berhenti saja sampai disini. Sikap acuh tak acuh dan rasa tak percaya yang dulu kupelihara itu sumbernya. Sikap itulah yang sudah kupangkas habis. Namun sayang, tak kuhabisi ia hingga ke akarnya. Ia mulai menumbuh lagi, menjalar lagi. Kali ini lebih buas menikamku.

Berkali-kali aku mencoba berdiri. Berkali-kali pula aku terjatuh. Bodohnya, ke dalam lubang yang sama. Artinya aku jauh lebih bodoh dari seekor keledai paling bodoh sekalipun. Damn!! Inilah aku. Sebuah pagi yang berharap langitnya memerah seperti senja. Dua sisi yang saling berseberangan. Seperti sepasang rel, yang berjalan sendiri-sendiri tanpa pernah bisa dipersatukan. Tapi aku tak ingin melupa begitu saja, Tuhan. Betapa sulit untuk menghapus jejak-jejak kaki itu. Tak semudah hujan, memang. Ditulisnya cerita dengan ujung kaki di jalanan, lalu dapat dengan mudah dihapusnya sendiri. Segala kisah, keraguan, senyuman, tawa, kelakar juga kegetiran. Aku tak seperti itu. Tidak. 

Dan pada akhirnya aku merasa menjadi sehelai sayap yang kehilangan pasangan sayapnya yang lain. Bisakah aku kembali terbang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar