Ada satu sisi dalam diriku yang entah kenapa selalu diam. Tanpa suara. Tanpa ada yang saling mengeja. Tak pernah terkatakan. Jemariku saja lah yang kerap menjadi kawan setia, bersedia mengucurkan tiap jengkal riwayat yang selalu menyelipkan dirinya itu, jauh di dalam hati. Kadang, bahkan aku pun tak mampu menemukan kedalamannya. Ia telah membentuk jurang-jurang terjal dan curam.
Seperti terbungkam, bibirku tak pernah mampu meluapkan segala hal yang sudah membanjir ingin mengurai. Lagi-lagi, jemariku yang kerap mengumpulkan satu per satu aksara yang mengendap itu.
Aku terbiasa berpesta dalam kesenyapan. Diam dan segala keheningannya adalah menu yang terlampir di meja-meja penyambutan. Guyuran malam seringkali menawarkan dirinya sebagai minuman pencipta kegaduhan yang tak pernah ada. Tak pernah usai.
Seperti terbungkam, bibirku tak pernah mampu meluapkan segala hal yang sudah membanjir ingin mengurai. Lagi-lagi, jemariku yang kerap mengumpulkan satu per satu aksara yang mengendap itu.
Aku terbiasa berpesta dalam kesenyapan. Diam dan segala keheningannya adalah menu yang terlampir di meja-meja penyambutan. Guyuran malam seringkali menawarkan dirinya sebagai minuman pencipta kegaduhan yang tak pernah ada. Tak pernah usai.
Selalu di penghujungnya, aku tertinggal sendirian. Bahkan para tanda baca yang cerewet itupun bergegas pergi. Menelusup masuk lewat mata-mata pena. Berdiam disana hingga kugelar kembali pesta kesunyian itu di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar