aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Kamis, 16 Juni 2011

Ketika Aksara itu Berjatuhan Dari Jemariku

Ada satu sisi dalam diriku yang entah kenapa selalu diam. Tanpa suara. Tanpa ada yang saling mengeja. Tak pernah terkatakan. Jemariku saja lah yang kerap menjadi kawan setia, bersedia mengucurkan tiap jengkal riwayat yang selalu menyelipkan dirinya itu, jauh di dalam hati. Kadang, bahkan aku pun tak mampu menemukan kedalamannya. Ia telah membentuk jurang-jurang terjal dan curam.


Seperti terbungkam, bibirku tak pernah mampu meluapkan segala hal yang sudah membanjir ingin mengurai. Lagi-lagi, jemariku yang kerap mengumpulkan satu per satu aksara yang mengendap itu.


Aku terbiasa berpesta dalam kesenyapan. Diam dan segala keheningannya adalah menu yang terlampir di meja-meja penyambutan. Guyuran malam seringkali menawarkan dirinya sebagai minuman pencipta kegaduhan yang tak pernah ada. Tak pernah usai.


Selalu di penghujungnya, aku tertinggal sendirian. Bahkan para tanda baca yang cerewet itupun bergegas pergi. Menelusup masuk lewat mata-mata pena. Berdiam disana hingga kugelar kembali pesta kesunyian itu di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar