aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Minggu, 13 Juni 2010

Lobang Jepang

Setelah menyaksikan program Pepi The Explorer, Minggu 13 Juni 2010, aku jadi rindu Bukittinggi lagi. Ingin sekali rasanya mengunjungi Jam Gadang, Ngarai Sianok, Lobang Jepang, Benteng Fort de Kock, Pasar Atas dan Pasar Bawah, Jenjang 40, Rumah Kelahiran Bung Hatta, dan yang paling kurindukan, berkunjung ke rumah Pamanku yang ahli membuat nasi goreng super enak. Nasi goreng Manenggang namanya. Hmmmm....

Diantara semuanya, yang sedikit menggelitik adalah tayangan tentang Lobang Jepang yang ditampilkan dalam program tersebut. Digambarkan seolah-olah di dalamnya bernuansa angker. Menurutku sebuah kesan yang dilebih-lebihkan ( maaf ). Bukankah lebih baik tidak ditampilkan adegan yang membuat pemirsa merasa ketakutan. Pasalnya, mungkin ada orang-orang yang ingin berkunjung kesana jadi mengundurkan diri karena takut. Padahal situs Lubang Jepang adalah salah satu peninggalan sejarah pada masa pendudukan Jepang. Oke, tulisan ini bukanlah untuk mengkritik tayangan tersebut, melainkan untuk menyinggung sedikit sejarah mengenai Lobang Jepang itu sendiri.


 Bagian depan Lubang Jepang

Lobang Jepang sebenarnya adalah benteng pertahanan tentara Jepang. Dibangun lebih kurang selama 2 tahun 7 bulan, sejak tahun 1942-1945 oleh Jepang yang mempekerjakan secara paksa orang-orang Indonesia yang tidak hanya diambil dari penduduk sekitar, tetapi juga diambil secara paksa dari daerah lain di Indonesia. Pada masa itu Bukittinggi menjadi Pusat Komando Pertahanan Tentara Jepang untuk wilayah Sumatera, dikarenakan posisi kota Bukittinggi yang strategis. Nah, lorong ini dibangun persis di bawah jantung kota Bukittinggi.

Ini adalah kali kedua aku ke tempat ini. Dulu, kata mama, aku pernah diajak kesini sewaktu berumur 4 tahun ( duh ma, udah lupa :D ). Aku ga mau menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Kapan lagi coba ke Bukittinggi. Mumpung ada di kota kelahiran Bung Hatta ini dan sudah berada di depan Lobang Jepang, masa iya sih ga masuk ke dalamnya. Keinginanku langsung ditolak mentah-mentah oleh mama. Mama khawatir anaknya ga bisa menuruni tangga yang berjumlah 132 buah anak tangga. Maklum, untuk jalan aja susah, apalagi naik turun tangga yang jumlahnya lumayan itu. Terpaksa hari itu harus puas dengan berfoto ria di area mulut Lobang Jepang. Sedikit kecewa dan rasa penasaran yang luar biasa, akhirnya aku menuruti mama yang dengan tegas tidak memperbolehkanku masuk.   


 Hari pertama, harus puas hanya berfoto di bagian depannya.

 
Mama berpose dulu. Ini hari pertama, belum terjadi gangguan yang menyebabkan padamnya lampu.

Hari itu akhirnya diisi dengan berkeliling di kawasan Jam Gadang dan taraaaa.......finally, Rumah Kelahiran Bung Hatta. Salah satu tempat yang sangat ingin kukunjungi.

Jalan-jalan seharian lantas tidak membuat rasa penasaranku terhadap Lobang Jepang sirna. Dengan segala bujuk rayu dan sedikit memelas ( hehe ) masih terus gencar kulakukan kepada mama. Karena hari itu aku sukses menaiki Jenjang 40, sebuah tangga yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Bawah Bukittinggi yang berjumlah 140 anak tangga, mama akhirnya mengijinkan aku untuk masuk ke dalam Lobang Jepang. 

Alhasil, keesokan harinya aku dan mama berangkat lebih pagi dari kediaman adik almarhum papaku, tempat kami menginap, dengan alasan supaya kondisiku masih segar untuk kembali mengobrak abrik Bukittinggi. Hari itu tujuan kami tidak hanya Lobang Jepang, melainkan juga ingin ke Benteng Fort de Kock dan Kebun Binatang.

Karena hari itu adalah hari Senin, suasana cukup sepi. Kami diantar oleh seorang pemandu untuk masuk ke dalam gua, Leni namanya. Hanya kami bertiga, dan ternyata sedang terjadi sedikit gangguan yang menyebabkan beberapa lampu yang menerangi gua mati. Gelap gulita. Penerangan saat kami menuruni satu per satu anak tangga hanya berasal dari lampu senter yang masing-masing kami pegang. Tapi justru aku suka, lebih dapet suasananya ( :D ).

 
Gambar yang diambil dari dalam ( kira-kira setelah menuruni 20 anak tangga ). Lampunya mati, jadi gelap banget.

Alhamdulillah. Walau agak lama, karena harus berhenti tiap sebentar, akhirnya kami sampai di dasar Lobang Jepang. Untunglah di dalam lampunya menyala, jadi tak perlu gelap-gelapan lagi. "Sekarang kita berada di kedalaman 42 meter di dalam tanah", ujar Leni si pemandu. Saat dulu ditemukan pada tahun 1946, Lobang Jepang berbentuk sebuah sumur berdiameter 20 cm. Lorongnya sendiri memiliki panjang sekitar 1470 meter ( hanya bagian yang terawat, sedangkan total panjangnya yang berada di bawah kota Bukittinggi diperkirakan 5000 meter ). 

Di kedalaman 42 meter.

Di dalamnya terdapat banyak ruangan yang berjeruji besi. Diantaranya dipergunakan sebagai ruang penyimpanan amunisi, ruang rapat, ruang sidang, ruang tentara Jepang, dan ruang penyergapan. Saat ini beberapa ruangannya dipersiapkan sebagai studio yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat menjelaskan sejarah tentang Lobang Jepang, sebagai tempat makan, dan mushola. 

 
Salah satu ruangan sebagai ruang penyimpanan amunisi.

Semakin ke dalam udara semakin sejuk. Iseng-iseng kulihat handphone, ga ada sinyal. Kami terus melangkah untuk masuk lebih dalam lagi. Kata mama, dulu waktu mama kesini, pengunjung harus berjalan sedikit menunduk. Lantai dan dindingnya pun masih asli dari tanah. Berbeda dengan sekarang yang sudah dilapisi dengan semen, jalan pun sudah tak perlu lagi menunduk. Leni menjelaskan, bahwa memang telah terjadi beberapa kali perbaikan di hampir semua bagiannya. Hal ini sangat disayangkan banyak pihak, karena menghilangkan keaslian nilai sejarahnya. Namun di beberapa tempat, bagian dinding tanah masih dapat dijumpai. Terdapat lekukan-lekukan di dinding tanah tersebut. Menurut Leni, itu berfungsi sebagai peredam suara, agar mencegah suara-suara terdengar dari luar. Pembangunan Lobang Jepang sendiri memang sangat dirahasiakan. 

Ini dia bagian dinding yang masih asli dari tanah.

Leni kemudian mengajak kami menuju "Dapur". Kupikir dapur untuk tempat memasak. Ternyata itu adalah dapur untuk tempat menyiksa para pekerja paksa yang sakit, tak sanggup bekerja atau yang membangkang. Mereka disiksa dengan berbagai cara bahkan dipenggal. Mayat-mayat mereka akan dibuang ke sungai yang mengalir di dasar lembah Ngarai Sianok melalui sebuah lubang yang terdapat di dekatnya.

Tempat penyiksaan para romusha.


Lubang pembuangan yang langsung menuju sungai di dasar lembah Ngarai Sianok.

Miris sekali ketika aku membayangkan bagaimana tentara Jepang menyiksa para pekerja paksa dulu. Ada perasaan sedih yang datang tiba-tiba.

Persis di atas lubang pembuangan terdapat sebuah lubang yang mengarah ke atas. Lubang itu dipergunakan untuk tempat pengintaian. Jika ada penduduk yang kedapatan lewat membawa hasil panen kebun mereka, tentara Jepang akan langsung menangkapnya di ruang penyergapan yang ada di sebelah dapur.

Tempat pengintaian

Tak ingin berlama-lama di "Dapur" itu. Tak tega rasanya berdiri di sana. Berpuluh-puluh tahun silam berapa nyawa sudah melayang akibat disiksa tentara Jepang :(. Leni lalu mengajak kami ke ruang sebelahnya, sebuah penjara. Leni menuturkan, penjara ini adalah kuburan massal. Aku dan mama sedikit terkejut. Saat pemerintah merenovasi lantainya dengan menggali setengah meter ke bawah tanah, banyak ditemukan tulang belulang manusia. Tulang-tulang itu dikumpulkan lalu dikuburkan di penjara tersebut. Robbi, lapangkanlah kubur mereka........
 Penjara yang beralih fungsi sebagai kuburan massal.

Tur berlanjut ke beberapa tempat. Lalu kami melangkah menuju pintu keluar yang tembus ke jalan raya yang merupakan jalan raya menuju dasar Ngarai Sianok. Sebenarnya pengunjung biasanya akan kembali lagi ke pintu masuk tadi dengan menaiki anak tangga sebanyak 132 buah. Mengingat kondisiku, mama meminta Leni untuk keluar melalui pintu tersebut. 

Hilang sudah rasa penasaranku. Kulangkahkan kaki dengan sekelumit kisah dari masa lalu. Tragis memang jika merunut kembali sejarah perjalanan bangsa ini di masa sebelum kemerdekaan. Terucap doa untuk mereka yang pernah menjadi saksi betapa kejamnya penjajahan dahulu. Tak terbayangkan bagaimana para pekerja itu harus menggali dan membuat terowongan yang begitu dalam dan panjang, di tengah kehausan dan kelaparan, kegelapan, kesakitan, keletihan, dan jauh terpisah dari kelurga. Dan menurut kisahnya, tak ada satupun dari mereka yang dapat meloloskan diri dari cengkraman Jepang. Mereka terkubur dalam misteri yang tersimpan pada dinding tebing Ngarai Sianok. Sampai saat ini, tak ada yang mengetahui berapa banyak tenaga pekerja paksa dikerahkan untuk membangun Lobang Jepang, siapa yang memerintahkan untuk membangunnya, dan kemana perginya pendiri Lobang tersebut setelah Indonesia merdeka. Semuanya menjadi misteri seperti kisah yang termuat di dalamnya.....

 Mama dan Leni, si pemandu.


Di pintu keluar bersama mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar