aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Rabu, 08 Juni 2011

Sebuah Obrolan

Kau katakan sesuatu pada siang yang riuh itu, bahwa kau bertahan hingga saat ini karena pernah melewati kematian sebelumnya. Kau hanya tahu, ada sesuatu yang harus dilakukan sebelum kau tiba di penghujung hidupmu. Entah itu apa, kau sendiri pun tak tahu. Lalu kau mulai mencari tentang semuanya. Untuk apa kau berjuang, mengapa denyut jantungmu masih berlarian di selip hari, tak mungkin semua hanya kebetulan. Dan kau tak pernah mau menyalahkan Tuhan. Kau menyadari bahwa hidup bukanlah berada dalam kesempurnaan. Dalam kelemahan lah DIA menunjukkan kasih setia-Nya. Dengan ini semua, kau menjadi tahu bahwa DIA mengasihi tanpa batas. Hanya kadang kau tersiksa, sering menangis dan mengeluh dalam kesakitan-kesakitan itu. Hidup memang perjuangan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Inilah jalan hidup kita, hanya kau masih mencari arti dari semuanya.

Kawan, aku pun masih mencari. Aku ingin memiliki arti, setidaknya aku tahu bahwa hidupku ini tak sia-sia. Terkadang kita memang tak pernah tahu, apakah kita memiliki arti bagi orang lain atau tidak. Tapi itu bukan tugas kita untuk mencari tahu.

Kadang aku berpikir, untuk apa orang-orang seperti kita ini diadakan. Sebelah sisi dari diriku selalu menjawab bahwa pasti ada sesuatu yang Tuhan rencanakan. Hanya saja kita terlalu meninggikan ego, hingga semua rencana Tuhan menjadi tersamar. Di tengah pencarian itu tak jarang aku menjadi orang yang apatis, sensitif dan skeptis. Kubangun sendiri sebuah tembok untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang berusaha masuk ke dalam hidupku. Seringkali pula kudorong mereka yang dekat denganku agar tercipta jarak, dan aku memilih berbincang dengan diri sendiri saja. Aku tak mau menjadi beban. Haruskah semua ini diperjuangkan hanya untuk memberatkan pundak mereka di sekelilingku? Bodoh sekali. Aku memang bodoh, kadang. *ga mau ngaku kalau emang bodoh beneran**kriuk* :D.

Kawan, bila Tuhan masih mengijinkan kita bernafas hingga hari ini, mungkin akan masih ada kisah yang harus kita tanam. Meski dalam kesakitan dan kelemahan yang kita alami, mungkin saja kelak kisah-kisah itu akan tumbuh dan ranum. Biarkan orang lain memetiknya. Karena bisa jadi saat itu kaki kita tak lagi berpijak di tanah ini.

Aku bahagia mengenalmu. Aku menjadi tahu bahwa aku tak sendirian melewati ini. Meski apa yang kulewati tak seterjal jalan yang kau lalui. Aku membaik dan kau memburuk. Tapi kita sama-sama pencipta beban ...*jreng jreng*. Haha...lupakan kalimat sebelum ini...*peace, love n gaul**uhuk**keselek cangkul*.

3 komentar:

  1. like this :)

    Nila pakabar? senang membaca postingan mu bbrp akhir ini

    BalasHapus
  2. Waduuuhh keselek cangkul ? kenapa ngga sekalian keselek traktor aja ? :P

    Nice posting sobat ...

    BalasHapus
  3. @Widi : Tengkyuuu sista :)
    Alhamdulillah kabarku baik. Makasi yaaa udah baca postingan2ku ^^
    Miss you Widi..


    @Mpey : Traktornya lagi dipake Mpey :D
    Trims yaaaa *balas komentar sambil ngemil sendal*

    BalasHapus