aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Kamis, 17 Maret 2011

Keajaiban Itu Cinta

Cerita kedua dari tiga rangkaian cerita dari Embun Pagi. Cerita sebelumnya dapat disimak pada Keajaiban Itu Pertemuan di myworldwords  .

*****

Aku menatap tubuhnya yang terbaring sambil mencoba mengingat-ingat kembali, betapa semua berlalu begitu cepat. Aku merasa baru saja kemarin meyakinkan diri bahwa aku benar mencintainya. Embun Amora Bethari. Sebuah buku agenda bertuliskan namanya yang indah, serta mimpi-mimpinya yang terbungkus di antara foto dan artikel Gunung Lawu, ternyata mampu membuatku memutuskan bahwa ia adalah Hawa yang kelak akan kupetikkan sebuah apel untuk melepas dahaganya. Baru kemarin rasanya aku mulai menemani Embun mengajar di sekolah darurat yang ia dirikan bersama teman-temannya. Dan saat itu pula, aku mencoba untuk menjaga hatiku agar tak remuk ketika Embun tengah dekat dengan seorang pria bernama Ardin. Aku merasakan sesuatu yang melukai perasaanku, menyakitkan. Apalagi ketika kulihat Embun begitu menikmati kedekatannya dengan Ardin. Untuk itu, aku memilih pergi saja. Pertemuanku dengan Embun adalah pertemuan yang biasa. Sama halnya dengan pertemuan lain di sudut-sudut kota ini. Tak ada salahnya jika aku tak lagi ada dalam kehidupannya. Bagiku, sudah cukup untuk melihat Embun bahagia. Dan kuputuskan untuk tak lagi masuk dalam hari-hari Embun.


Namun tak kupungkiri, aku tetap menyimpan sebuah harapan bahwa nanti, ketika usia mengantarku pada kerut-kerut di wajah, uban melebat, dan sudah mulai melupakan sesuatu dan banyak hal, aku ingin Embun yang duduk di sampingku. Aku ingin menjadi tua bersamanya. Sebuah harapan yang diam-diam kulekatkan dalam doa.


Tapi takdir berbicara lain. Aku tak benar-benar bisa lepas dari kehidupan Embun. Ketika suatu hari di kantin kampus, setelah sekian lama aku tak pernah lagi bertemu sosoknya, aku mendengar kabar dari teman-temannya bahwa kanker otak telah melumat kepala Embun. Aku harus melihatnya. Aku harus berada di sampingnya, menemaninya melewati hari-hari yang berat. Dan hari ini, kesekian kalinya aku menginjakkan kaki di rumah sakit tempat ia dirawat.


Embun tertidur pulas. Rambutnya yang biasa tergerai sudah dipangkas habis. Kepalanya ditutupi sehelai selendang biru muda. Dan tangan kirinya memeluk erat sebuah boneka domba berwarna putih. Boneka itu pemberian Ardin, ucap Embun suatu hari. Ardin yang tak pernah lagi datang menemuinya. Atau bahkan sekedar menanyakan kabar. Kalau memang Ardin mencintai Embun, mana mungkin ia biarkan wanita itu sendirian menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya. Hanya sebatas itukah cinta Ardin? Aku tak habis pikir.


Ini adalah bulan kelima Embun terbaring lemah. Aku berharap kanker yang bersarang di kepalanya tak membuang ingatan-ingatannya tentang diriku. Setidaknya masih ada ruang di otaknya untuk sekedar mengenang bahwa aku pernah hadir dalam hidupnya. Kata dokter, Embun harus segera dioperasi. Kalau tidak, akan berakibat fatal. Embun tak takut. Ia justru bersemangat menjalani tiap proses pengobatan yang terkadang menyakitkan.


"Aku ingin menyelesaikan kuliah, aku ingin mengajar lagi. Aku kangen dengan anak-anak di sekolah. Dan aku masih ingin ke tempat ini." Ucap Embun suatu hari sambil menunjuk sebuah foto Gunung Lawu di buku agendanya.


Betapa inginnya Embun ke sana. Sama sepertiku, Puncak Lawu memiliki cerita tersendiri bagi Embun. Sewaktu kecil, mendiang ayahnya yang juga seorang pendaki gunung sering bercerita bahwa di puncak itulah ayahnya menemukan kebadian cinta. Di tengah hamparan edelweis, ayah Embun menemukan tambatan hatinya yang bernama Citra, yang kini menjadi ibu Embun, yang saat itu juga mendaki Gunung Lawu bersama teman-temannya. Cinta yang abadi seperti edelweis-edelweis itu. Embun ingin melihatnya. Karena kesibukan dan kesempatan yang belum datang padanya, terpaksa keinginan itu disimpan dalam- dalam. 


*****

Dalam hati, diam-diam Raga berjanji akan membawa Embun ke tempat itu. Tempat dimana salah satu keinginannya bersarang.

*****

Aku sendiri tak yakin dengan janji yang kuucap ini. Melihat keadaan Embun, sepertinya jauh dari mungkin untuk membawanya ke Puncak Lawu. Tapi bagaimana pun, aku akan mencari cara untuk Embun agar dapat menapakkan kaki disana. Setidaknya sebelum ketakutanku terjadi. Apalagi setelah dokter mengatakan bahwa kemungkinan keberhasilan untuk penyakitnya semakin menipis. Tak pernah kurasakan kecemasan seperti saat ini. Namun semangatku tetap menyala karena melihat Embun yang tak pernah menyerah menghadapi semuanya. Dan itu sangat baik, kata dokter. Banyak keajaiban terjadi berkat keyakinan dan semangat hidup pasien. Tak ada yang tak mungkin. Aku percaya itu. 

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh Embun yang kembali muntah-muntah. Wajahnya semakin pucat, membaur dengan warna putih dinding rumah sakit yang membisu. Tangannya dingin, sedingin tatapan matanya. Tanpa disangka, Embun memberikan boneka pemberian Ardin padaku.

"Aku ga mau melihat boneka ini lagi," ujar Embun dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Memang, sejak fisik Embun melemah, Ardin mulai menarik diri dari kehidupan Embun, lalu menghilang tak ada kabar. Optimisme Embun yang sangat besar mampu menutup matanya bahwa Ardin tak lagi peduli dengan keadaannya. Sekarang, Embun telah membuka mata. Selain berusaha berjuang melawan penyakitnya, selama ini Embun juga berusaha membenahi hatinya yang diam-diam telah berserakan karena Ardin. Ada perasaan lega menjalar di tubuhku. Bukan karena akhirnya aku memiliki kesempatan untuk bersama dengan Embun, tapi aku benar-benar bahagia bila Embun kembali pada dirinya yang dulu. Embun yang tangguh seperti Gunung Lawu yang tetap kokoh berdiri, meski cuaca menghantamnya dari segala penjuru.

Tak disangka, beberapa minggu setelah operasi, Embun menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan berkonsultasi dengan keluarga dan dokter, aku meminta ijin untuk membawa Embun pergi menemui murid-muridnya di sekolah darurat. Hari itu, Embun terlihat sangat bahagia. Ia tampak memuaikan rindu bersama anak-anak didiknya. Ia tak mengajar seperti biasa, hanya bernyanyi bersama dan membuat origami dengan berbagai macam bentuk. Sekembalinya ke rumah sakit, mata Embun tampak bercahaya. Benar kata orang, mata mencerminkan suasana hati si pemiliknya. Sepanjang hari itu aku hanya ingin tersenyum. Tersenyum untuk kebahagiaan Embun.

"Raga, aku boleh titip sesuatu?" Tanya Embun saat aku pamit hendak pulang. Kujawab dengan anggukan kepala dan tersenyum padanya. "Besok tolong belikan aku kertas origami lagi ya. Kali ini yang banyak. Aku mau membuat seribu burung kertas. Maaf ya, lagi-lagi aku merepotkan kamu," katanya.

"Untuk apa, kamu ga mau jualan burung-burung kertas di rumah sakit ini kan?" tanyaku dengan sedikit bergurau. "Ga dong. Katanya kalau kita membuat seribu burung kertas, keinginan kita akan terwujud," jawabnya. "Ya semoga aja burung-burung kertas itu bisa membawaku terbang ke Puncak Lawu sana," sambungnya sambil tertawa lebar.

Dengan berbagai pertimbangan dan persiapan, akhirnya suatu hari aku diijinkan untuk membawa Embun pergi ke Gunung Lawu. Saat itu kesehatan Embun sudah membaik walaupun dokter mengatakan harus tetap waspada karena penyakitnya belumlah hilang. Embun sangat antusias. Ia bahkan memaksaku untuk terus mendaki hingga ke puncak. Padahal sepertinya ia sendiri sudah tak sanggup untuk meneruskan pendakian. Embun hanya sanggup sampai di pos 4, dimana terlihat Telaga Sarangan dari kejauhan.

"Kita cukupkan pendakian sampai disini saja ya," ucapku. Aku khawatir bila dipaksakan, kondisi Embun nantinya akan memburuk. Embun mengangguk. Terlihat lelah yang sangat dan sedikit kekecewaan di matanya. Tapi tak lama kemudian, terpancar kembali optimisme yang selalu kukagumi dari dirinya itu. "Ya, kali ini kita hanya sampai disini. Suatu hari nanti, aku pasti akan sampai di puncaknya. Pasti. Dengan kedua kakiku sendiri. Kamu dengar itu kan Raga?" katanya padaku. Lalu ia memejamkan matanya sambil tersenyum. Kupikir, mungkin ia berdoa. Saat itu tiba-tiba saja aku ingin sepasang sayap tumbuh di punggungku. Untuk membawa doa-doanya terbang menuju langit. Dan menjadi malaikat yang akan selalu menjaga tiap detak jantungnya. Tiap hela nafasnya.

Ada yang pelan-pelan tumbuh semakin cepat. Harapan. Berharap bila saat itu tiba, aku ingin menjadi orang yang menemani Embun menyusuri lereng gunung ini hingga sampai di puncaknya. Lalu akan kutunjukkan padanya edelweis-edelweis yang abadi, sebagai tanda bahwa cintaku padanya pun akan abadi.

*****

Bagaimana kelanjutan dari kisah mereka? Akankah Embun mampu melewati masa-masa melawan penyakitnya yang belum hilang itu? Akankah ia bisa menjejakkan kaki di Puncak Lawu? Lalu bagaimana dengan Raga. Apakah ia mampu membuktikan keabadian cintanya?

Simak kelanjutannya pada Keajaiban Itu Rindu di Enjoy Your Life .

Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes Pagelaran Kecubung 3 Warna di newblogcamp.com.

16 komentar:

  1. wah semoga kita nanti jadi salah satu pemenang ^^
    semangat embun pagi

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas partisipasi sahabat.
    Saya akan melanjutkan perjalanan ke kisah selanjutnya
    Daftar seluruh peserta dapat dilihat di page Daftar Peserta Kecubung 3 Warna
    di newblogcamp.com
    Salam hangat dari Markas BlogCamp Group - Surabaya

    BalasHapus
  3. Met siank Nilla..

    abiz baca Cerita 3 di tempat Chika truz Loncat ke cerita 1 ditempat Mbak Diana, baru akhirnya aku tau klo Embun itu sakit Kanker otaQ.. Hem... klo dipkir2 bener juga yach, kadang klo kita sayang ama someone kita lebih milih untuk puas ng'liat dia dari jauh :D like me waktu itu hhe...

    Karena udah tau cerita akhirnya aku udah gak penasaran haha...

    Maaf ya baru bisa mampir... Semangat n Have a nice day Nilla...

    BalasHapus
  4. wah,cerita yang menarik.salam kenal.kalau ada waktu kunjungi blog ane ya

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum dik..

    subhanallah.. wuih,, keren ceritanya,, insyaallah menang.. amiin.............

    BalasHapus
  6. @Chika : AQmiiiin...
    Yup yup..semangat Embun Pagi ^_^


    @Shohibul Kecubung 3 Warna : Salam hangat kembali untuk semuanya di Markas BlogCamp Group-Surabaya..
    Trims juga untuk Pak Dhe yaaa.. :)


    @Ferdinand : Met sore Fer :)
    Wah, curang!! Masa baca cerita ketiga dulu baru cerita keduanya >.<
    Ga asik nih...haha..

    Trims ya Fer... ^^


    @i-one : Salam kenal kembali..
    Trims udah mampir ke sini ya :)


    @Kak Ami : Wa'alaikumsalam kak..
    Amiiin...makasiii kak Ami..

    BalasHapus
  7. wah makin seru neh ceritanya,,
    *anjut ke postingan ketiga* :D

    BalasHapus
  8. wah..kalimat2nya indah...aku suka...

    BalasHapus
  9. Salam bloger!

    Gw tertarik sama Kalimat Ini "Ya semoga aja burung-burung kertas itu bisa membawaku terbang ke Puncak Lawu sana,"

    Seperti suatu Harapan yang benar2 tertahankan...Suatu Keinginan yang Begitu kuat..Embun......Penuh harapan..harapan utk Sembuh...

    Salam Utk Semuanya..Menjalin Silaturahmi antara Sesama Bloger..

    BalasHapus
  10. Titip salam buat Embun, katakan padanya aku mau mengantarnya sampai ke Argo Dumilah.
    Tetap semangat ya Embun.

    Aku pamit, mau angsung ketempat Chika, mo liat lanjutan ceritanya.

    Salam.. .

    BalasHapus
  11. semangat embun pagiii...:D
    sukses bwt kita semua...hehe

    BalasHapus
  12. Seindah kisah sebelumnya. Semakin penasaran dengan akhir kisah Embun & Raga. Semoga sukses dg K3Wnya ya...
    Salam kenal

    BalasHapus
  13. Cinta memang penuh misteri dan perjuangan, bahkan untuk membuktikan cintapun kita harus siap memecah tantangan.. semoga Raga dan Embun sama-sama menuai kebahagiaan,,, :)

    OK, walaupun agak terlambat, Juri Kecub datang,, untuk mengecup karya para peserta,, mencatat di buku besar,, semoga dapat mengambil hikmah setiap karya dan menyebarkannya pada semua…

    sukses peserta kecubung 3 warna.. :)

    BalasHapus
  14. Bahkan jika hanya memiliki setitik harapan, seribu gunung pun akan terlampaui seringan burung mengepakkan sayapnya. Karena harapan adalah sumber kekuatan.

    Kisah telah disimpan dalam memori untuk dinilai.
    Salam hangat selalu.

    BalasHapus
  15. Perjuangan melawan penyakit selain dengan pengobatan yang benar juga didukung oleh suasana hati dan keinginan untuk sembuh. Embun kali ini membuktikannya.
    Cerita yang menarik ini sudah dicatat dalam buku besar juri, terima kasih

    BalasHapus
  16. dalam keheningan dan harapan, ada kekuatan,
    penasaran untuk baca endingnya.
    salam kenal dan salam persahabatan
    bangauputih ^_^

    BalasHapus