aku mencintai jingga

saat semesta dinaungi semburat yang mempesona

jingga, semesta menjingga

ketika lamat-lamat suara adzan menghitung detak jantung,

mengukir sebuah kata perpisahan kepada hari

wahai senja..

terimalah aku sebagai kabut

setia menantimu menyambut malam

menundukkan hati dalam-dalam hanya untuk Sang Pemilik Alam

meruntuhkan segala penat dan kesenduan

bersujud hanya untuk satu nama teragung

dan ketika jingga menutup tabir untuk hari ini,

aku ingin pulang di kala senja

kembali pada kisahku yang terukir di langit

hening dan abadi.

Kamis, 03 Juni 2010

Kota Kelahiran

kotaku,
sungguh
terhampar senyum yang dalam di pematang sawah
desir angin yang memercik di antara beningnya air sungai,
tak mampu membuat lidahku berkata-kata

jauh di pasir pantai, Malin Kundang masih sesali garis hidupnya
dan Muara, tetaplah menjadi pelabuhan terakhir bagi tetes-tetes air di pegunungan

Itu bertahun lalu, ketika aku masih bisa berkelakar dengan deru pucuk-pucuk padi
atau melayang dalam cerita kanak-kanak tentang sebuah persahabatan abadi dan pengorbanan

kini, tersiar di surat kabar atau televisi
kotaku, sungguh
kotaku asing.
atas nama apakah ini? tuntutan zaman?
bila kebanggaanku telah menjelma mimpi buruk dan ketakutan

cinta yang dijajakan di pinggir jalan,
atau botol-botol bir berkeliaran di sudut kota

apakah pasir-pasir pantai dan gemercik air sungai yang telah mengambil sebagian kenanganku,
masih mampu membuat lidahku tak dapat berkata-kata?
atau dapatkah aku kembali berceritatentang persahabatan abadi dan pengorbanan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar